Imagologi: Citra dan Media

Reality was stronger than ideology. And it is in this sense that imagology surpassed it: imagology is stranger than reality (Kundera-Immortality)

Milan Kundera adalah penulis pertama yang menggunakan istilah imagologi untuk menunjukkan kondisi di era media massa elektronik. Kundera memberikan contoh bagaimana neneknya yang hidup di pedesaan mengalami kehidupan ‘real’ dalam kesehariannya. Tidak seorangpun bisa membodohi nya karena memiliki kontrol personal terhadap realitas. Di lain sisi Kundera membandingkan neneknya dengan seorang tetangganya yang hidup di Paris dengan ritme hidup khas kota besar modern. Kerja delapan jam sehari dengan kemacetan yang menyita waktunya dan ketika sampai di rumah menonton televisi. Apapun yang disampaikan televisi terutama polling opini publik terhadap sebuah masalah akan di percaya dan televisi yang mengontrol realitas, imagologi.

Polling opini publik menurut Kundera merupakan instrumen penting dari kuasa imagologis, karena polling memungkinkan imagologi untuk hidup berdampingan secara harmonis dengan masyarakat. Temuan dari polling telah menjadi realitas yang lebih tinggi dari yang real, atau menurut Kundera menjadi kebenaran, sebuah kebenaran yang paling demokratis dari yang pernah ada.

Istilah Imagologi kemudian digunakan secara luas kalau tidak semena-mena oleh para penulis dan akademisi di berbagai disiplin. Sebagai contoh, pada disiplin hubungan internasional atau sastra imagologi didefinisikan sebagai “the study of cross-national perceptions and images as expressed in literary discourse”. Imagologi menjadi penting dalam dua disiplin ini karena semakin bertambahnya sikap, stereotype, dan prasangka yang menuntun aktifitas kesusastraan dan hubungan internasional berasal dari karya sastra tentang sebuah negara atau bangsa.

Imagologi secara lebih provokatif ditulis dalam buku Imagologies: Media Philosophy oleh Taylor dan Saarinen (1993). Mereka tidak secara explisit mendefinisikan imagologi, namun dari isi buku (non-buku), mereka melihat imagologi sebagai sebuah produk dari perkembangan teknologi komunikasi informasi, budaya simulasi/postmodern, kecepatan dan percepatan, pendidikan, dan praktik komunikasi baru. ‘Where would Socrates hold his dialogues today? In the media and on the net”. Taylor dan Saarinen membuat bukunya dalam bentuk hypertext dimana pembaca dipersilahkan untuk mengisi lubang-lubang text yang sedemikian rupa dibentuk melalui teknologi email dan hypertext pada awal 1990an.

Imagologi secara etimologis berasal dari kata imago=citra/gambar dan logos=kata-kata/ilmu. Kajian imagologi sangat beragam mulai dari teori tentang citra publik, pendekatan terhadap citra publik, dan pembuatan citra. Konsep citra publik bak Janus, dewa berwajah dua. Di satu sisi citra di pahami sebagai komunikasi, terutama komunikasi visual atau presentasi. Di lain sisi citra dianggap sebagai ‘gambar mental’ atau ide. Grunig menyebut perbedaan ini sebagai ‘citra artistik’ dan ‘citra psikologis’. Citra artistik merujuk pada pengirim pesan yang menampilkan atau mempresentasikan sesuatu. Sedangkan citra psikologis melekat pada penerima pesan, yang menginterpretasi dan memahami citra sedemikian rupa.

Citra dalam pendekatan wacana kritis dipandang sebagai realitas buatan manusia yang menipu atau pseudo-reality. Sebagai contohnya seorang jurnalis yang tidak percaya begitu saja pernyataan seorang pejabat dan berusaha untuk menemukan kebenaran dibalik pernyataan tersebut.

Terdapat pula pendekatan wacana pemasaran dalam membahas citra. Imagologi di sini lebih diartikan pada seni untuk menciptakan citra-citra yang bernilai atau ideal dimana orang akan mengikutinya tanpa mempertanyakanya dengan kritis. Insinyur citra atau dalam bahasa Kundera adalah imagologues adalah orang yang penuh keyakinan dan prinsip, ia meminta jurnalis mencerminkan sistem imagologis dari saat tertentu untuk diterbitkan atau disiarkan di media.

Taylor dan Saarinen mengatakan bahwa kita harus menjadi imagologis, yaitu:

The imagologist is a spacemaker whose task is to create a gap where others can write. For there to be such an opening, everything must remain inconclusive. The absence of answers creates the opening of the media philosopher’s quest-ion. The only writing worth reading today is spacey. Turn on, tune in, space out.